Oleh : Tanadi Santoso
Baju bekas bintang filem terkenal laku 50
juta rupiah, walau sebenarnya barang itu adalah sama saja sebuah baju.
Golf Stick bekas John F. Kennedy laku 600 juta, nilai barunya tidak
lebih dari 10 juta.
Manusia adalah mahluk yang menganut
“Essensialism”, kita bukan hanya tertarik pada “apa yang terasa,
terdengar, atau terlihat” oleh kelima indera kita saja, tetapi juga apa
makna yang terkandung dibelakang hal itu.
Sepatu Nike
“Back to The Future” laku di lelang 300 juta rupiah, karena “Story” yang
ada dibelakangnya. Bagaimana hubungan kita dengan “makna” yang
diberikan oleh cerita itu menentukan berapa “harga” yang layak untuk
sebuah barang.
Lukisan, patung, karya seni, semuanya
tergantung pada nilai dari “arti” yang terkandung didalamnya, sehingga
harga bukan lagi karena “barang” itu. Nilai sejarah, kekuatan “brand”
penciptanya, dan segala esensi yang terkandung pada barang itulah yang
menciptakan harga.
Ada yang tidak makan daging sapi, ada
yang tidak makan daging babi, ada yang tidak makan burung dara, ada yang
tidak makan hewan sama sekali. Apa yang kita makanpun memberikan
“perasaan” yang beda dan sesuai dengan “imaginasi” kita. Coba berikan
daging kambing misalkan, katakan “ini sapi” pada saat seorang Hindu yang
sedang memakannya, ini membuat dia memuntahkannya.
Kalau
anda melihat seorang wanita yang sangat cantik seksi (atau tampan gagah,
buat para wanita), dan anda sangat tertarik secara sensual padanya,
masihkah anda akan tertarik kalau tahu bahwa sebenarnya dia dulu
berjenis kelamin lain dan telah melakukan operasi? Atau bagaimana
seandainya dia dulu sebenarnya adalah nenek2 berumur 90 tahun yang
dioperasi ganti kulit? Maka langsunglah hilang semua selera yang ada.
Lalu bagaimana seandainya itu hanya cerita bohong saja, tatapi kita
benar2 menganggap itu benar, apakah kita akan tetap jijik?
Sebuah
barang, sebuah kejadian, sebuah “kebahagiaan” punya “kedalaman” yang
penuh dengan esensi yang tidak berupa fisik saja. Kita terbentuk pada
esensi2 yang ada dalam kehidupan kita.
Kita berbahagia
ketika berhasil menyelamatkan orang kena gempa, walau kita rugi harta
benda, dan lelah kotor capek luar biasa. Kita berbahagia bisa
menyenangkan orang tua, walau harus mengirit keuangan mengikat pinggang
selama setahun.
Nilai sesuatu, baik barang ataupun
kebahagiaan, terbentuk oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekedar apa
yang tampak dan apa yang rasional saja. Pleasure is deep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar