Jumat, 15 Februari 2013

NASIHAT IMAM AL-GHAZALI UNTUK ANAK MUDA

Begadang mata untuk kepentingan selain Wajah-Mu adalah sia-sia.
Dan, tangis mereka untuk sesuatu yang hilang selain-Mu adalah kebatilan.
Nak, hiduplah sesukamu karena toh kamu akan mati juga. Cintailah orang sesukamu sebab kamu toh akan berpisah dengannya. Dan, berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya kamu akan menuai ganjarannya.
Anakku, apa pun yang kamu peroleh dari mengkaji ilmu kalam, debat, kedokteran, administrasi, syair, astrologi, arud, nahwu dan sharf, jangan sampai kau sia-siakan umur untuk selain Sang Pemilik Keagungan.
Aku pernah menilik dalam kitab Injil sebuah ungkapan Isa a.s.:
“Sejak mayat diletakkan di atas peti jenazah hingga diletakkan di bibir kubur, Allah melontarkan 40 pertanyaan dengan segala Keagungan-Nya. Demi Allah, pertanyaan pertama yang dia ajukan adalah: “Hamba-Ku, telah Kusucikan pandangan makhluk bertahun-tahun, tetapi mengapa tak kau sucikan pandangan-Ku sesaat pun, padahal setiap hari Aku melihat ke kedalaman hatimu. Mengapa kau berbuat demi selain-Ku, padahal engkau bergelimang dengan kebaikan-Ku, ataukah engkau telah tuli dan tak mendengar!”
Nak, ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.

__Imam Al-Ghazali dalam Ayyuhal-Walad

Kamis, 07 Februari 2013

Restu Ibu Imam Syafi'i

Sejak kecil, Imam Syafi'i telah hafal al-Quran dan banyak hadis. Jika mendengar ada guru datang mengajar, dia segera pergi untuk menimba ilmu. Ketika berusia 14 tahun, Imam Syafi'i menginginkan kepada ibunya tentang keinginannya untuk merantau untuk menambah ilmu. Awalnya, ibunya merasa berat untuk melepaskan karena Syafi'i adalah satu-satunya harapan ibunya untuk menjaganya di hari tua. Demi ketaatan dan kasih sayang Syafi'i kepada ibunya, dia membatalkan keinginannya itu. Akhirnya ibunya mengizinkan Syafi'i merantau untuk menambah ilmu pengetahuan. Sebelumnya melepaskan anaknya, maka ibunya berdoa, "Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keredhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut pengetahuan peninggalan PesuruhMu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu, ya Allah agar dipermudah urusannya. Peliharakanlah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat kepulangannya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang bermanfaat. Amin! " Selesainya berdoa ibunya memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang dan dengan linangan air mata karena sedih untuk berpisah. "Pergilah anakku. Allah bersamamu! Insya-Allah engkau akan menjadi bintang ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah redha melepaskanmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan. " Setelah ibunya berdoakan, Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal. Dia meninggalkan ibu yang sangat dikasihinya dengan hati yang pilu dan mengharapkan ibu selalu mendoakan kesejahteraannya dalam menuntut ilmu. Karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan tidak membawa pasokan uang, kecuali dengan berbekalkan doa ibunya dan cita-cita yang teguh untuk menambah ilmu sambil bertawakkal kepada Allah. Ketika mahal kisah ini, Imam Syafi'i berkata, "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih berada pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabut pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh barakah tanpa membawa sedikitpun bekalan uang. Apa yang menjadi pasokan untuk diriku hanyalah Iman yang teguh dan hati yang penuh tawakkal kepada Allah serta doa restu ibuku saja. Aku serahkan diriku kepada Allah seru sekalian Alam. "

Jumat, 25 Januari 2013

Kisah cinta Salman Al-Farisi


Salman Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil
tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah
pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan
pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat
kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki
adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang
pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi
Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak
hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya.
Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa
cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru
tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang
Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah
memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang
utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai
beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili
saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud
Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,
shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini
bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak
jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi
isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan
segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata
sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang
datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami
menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki
urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah.
Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu
mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu
alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan
persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu
yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang
belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia
bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan
ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
???

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki
apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran
tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih,
merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa
dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah,
dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang
yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang
kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.